Sabtu, 15 Agustus 2015

Tamplekan a.k.a. Bulu Tangkis Ala-ala

Dulu, kami biasa main tamplekan. Ini, adalah ala-ala bulu tangkis. Aturannya pun, sama persis. Bedanya, tanpa net, tidak harus dengan shuttlecock, juga tidak mungkin menggunakan raket. Juga bisa dimainkan di manapun. Tidak harus dalam tanah lapang berukuran tertentu.

Kami biasa memainkannya di sore hari, sebelum atau sesudah Ashar hingga menjelang Maghrib. Biasanya di jalan atau halaman yang cukup lapang untuk bergerak namun tidak terlalu besar.

Bola tamplekan dibuat dari beberapa plastik yang dilipat-liat dan dikucir ujungnya dengan karet. Kalau beruntung, kami bisa main dengan bekas shuttlecock milik tetangga. Sedangkan pemukulnya dari kayu, bekas tempat pensil, atau apapun yang bisa dijadikan pemukul.

Tamplekan sendiri, tidak bisa secara resmi dikatakan sebagai nama permainan. Tapi lebih sebagai representasi dari apa yang kami lakukan, yaitu saling menamplek (semacam memukul tapi mengandung arti melambungkan bola juga).

Saya tidak ingat betul, kapan terakhir kali kami main tamplekan. Mungkin, saat permainan digital semakin marak. Atau, ketika harga televisi menjadi lebih murah dan stasiun tivi jadi lebih banyak.

Sebenarnya, saya senang dengan permainan ini. Dan berharap bisa memainkannya lagi :D

Jumat, 05 September 2014

Lunch

Yesterday I had lunch at an Indonesian restaurant. We call it 'warung makan' since it is a simple one.
This is what I ate.
This cost me Rp 10.500 (Rp 5.500 for the food and Rp 5.000 for the juice).
A delicious kinds of mother-cooking food it is.


Selasa, 10 Juni 2014

Jogja, Where Delicious Food is Just Two Stops Ahead

Jogja is known for it's delicious food. Many traditional food-both originated from Jogja and those came from other places from Indonesia, are scattered around Jogja. It is not wrong to say, "delicious food is just on two more stops ahead." You just have to know what you really want to if you do not intend to get confussed or over loaded with foods (imajine if you can't stop eating because you can not reject the attraction of good food).
You can also find abroad food here. Indians, Spanish, Chinesse, Turkish, Korean, Japanesse, and other. So, no need to worry of how you will survive when you visit Jogja. Just come here and prepare yourself for lots of food, even those you can't imajine can be made as dishes.
At next posts I will let you know how those foods taste and what is it that makes the restaurant outstanding.

Jumat, 23 Mei 2014

Karna atau Arjuna

Dua atau tiga malam ini, selama berjam-jam, saya rajin browsing. Mencari perbandingan, baik data atau opini penguat seputar lebih jago memanah mana antara Arjuna dan Karna. Maklum, saya lagi setia nonton Mahabharata tiap malam.
Itu, yang diputar di Anteve, saban pukul 20.30 (yang entah kenapa saya rasa dimulainya pukul 20.40an). Sebelumnya, saya juga sudah lama ngefans sama cerita keturunan Kuru ini. Dulu, saat masih SD, sepulang sekolah, saya terburu pulang karena ingin segera menonton Mahabharata di TPI. Walaupun, bahkan di masa itu (jamannya visual effect masih wagu), saya yang masih begitu kecil acap kecewa pada VE di serial ini. FYI, sampai saat ini saya masih punya ambisi terpendam untuk menonton wayang semalam suntuk. Pengeeeen sekali, menikmati ceritanya dengan utuh dalam satu kesempatan tidak berjeda.
Semakin saya mencari, saya makin bingung. Apalagi karena lovers ataupun haters dari kedua tokoh ini, serius sekali. Keseriusan yang mendorong saya untuk curiga: sepertinya opini mereka tidak objektif. Seandainya obyektif pun, tetap saja hanya opini pribadi mereka (yang bisa muncul karena fantasi terpendam). Bukan data dari pengarangnya. Duh... Kalau saja, saya punya ilmu membalik masa atau mesin waktu, saya ingin pergi ke ruang pribadi Wiyasa. Saya akan menanyakannya sendiri kepada beliau.

#Belakangan, berdasar data yang semrawut, saya mengetahui kalau kemenangan Arjuna atas Karna di padang Kurusetra bukanlah semata prestasinya. Lebih merupakan arisan kebetulan (atas kutukan yang mengenai Karna) serta gotong royong Sri Kresna, Batara Indra dan Prabu Salya. Bahkan, Arjuna berhasil mengalahkan Karna sewaktu Raja Angga ini tidak bersenjata.
Kalau benar demikian, artinya memang lebih hebat Karna dibandingkan Arjuna dong. Dalam seni memanah lho. Arjuna hanya beruntung hingga bisa memperoleh gelar pemanah terbaik se-dunia itu. Kalau benar demikian, artinya cerita keampuhan Pandawa yang saya dengar dari kecil itu perlu direvisi dong.... Karena, bagaimanapun, saya percaya kalau yang terpenting bukan semata hasil (menang atau kalahnya) tapi juga prosesnya.
Kalau menang tapi karena bantuan (tetangga, kakek, nenek, atau handai tolan) ya sama saja boong. Bisa sih, kalau melihat dari cerita jagoan-jagoan model Power Rangers itu ( yang keroyokan melawan monster yang solo), dibilang bahwa bantuan-bantuan itu diberikan karena persona Arjuna. Jadi merupakan sisi positif(diri)nya juga yang menarik kemenangan (bantuan yang diperoleh). Bisa juga dibilang kemenangan itu takdir Ilahi.
Tapi rasanya kok saya masih kurang sreg. Yang bertanding kan, Arjuna dan Karna. Yang berhak menyandang gelar pemanah terbaik kan hanya mereka berdua. Yang semestinya terlibat dalam fair play kan hanya mereka berdua. Alasan mereka bertarung atau siapa sanak mereka kan fakta lain. Bukankah ksatria itu punya kepuasan jika bisa menang atas usahanya sendiri.
Ih, saya sudah menanyakan banyak senior terkait opini mereka. Semacam survei tidak ilmiah kecil-kecilan. Tapi jawaban yang saya peroleh tidak juga memuaskan. Karena kebanyakan menitik beratkan pada budi pekerti dan falsafah yang baik pasti menang dari yang jahat. Padahal, yang saya ingin tahu hanya siapakah pemanah terbaik di dunia: Karna atau Arjuna. Bukan siapa yang lebih mahir bermain semua senjata, bukan siapa yang lebih baik hatinya, bukan juga siapa yang lebih pintar bermain gasing. Hanya siapa yang paling jago memanah. Itu saja.

Days of Future Past: Masan Depan adalah Masa Lalu

Dari kecil, sejak nonton versi kartunnya di televisi, saya paling suka sama Storm. Biar saja kalau ada mutan lain yang lebih canggih ilmunya. Buat saya, Storm tetap yang paling keren.
Makanya saya sempat kecewa berat, sewaktu di lima belas menit terakhir Days of Future Past, Storm mati dengan mudahnya. Duh, nggak rela banget. Kalaupun Storm mati pun, harusnya dengan heroik. Pake proses sulit dan berjuang hingga berdarah-darah gitu. Bukannya gugur dengan sekali tusuk. Rasanya kayak pengin masuk ke layar besar itu dan menariknya jauh-jauh dari para sentinel, biar dia bisa bikin kilat super gede untuk membikin para pembunuh mutan itu jadi sate.
Sentinel, mesin bikinan Bolivar Trask adalah mesin pemburu mutan yang dibuat dengan menggunakan DNA Mistique. Makanya badan mereka awet sebab bisa beregenerasi dengan super cepat. Kalau Mistique hidup di dunia nyata, mungkin akan banyak perusahaan kosmetik yang berebut menjadikan sel-selnya sebagai bahan dasar pembuatan serum awet muda. Bukan tidak mungkin Mistique jadi pemilik satu merk kosmetik yang dilabeli namanya sendiri. Bukannya dijadikan materi pembuat mesin pembunuh. Kadang, dunia nyata lebih sederhana daripada film :(
Untuk menyelamatkan masa depan (dengan cara mencegah Trask Industries mendapatkan DNA Mistique dan mencegah Mistique jadi mutan yang anti manusia), Profesor X dan Magneto mengutus Wolverine ke tahun 1973 dengan kekuatan Kitty Pryde. Eniwe, bukannya Xavier sudah mati dan Magneto sudah disuntik obat penghilang gen mutan ya? Kok mendadak nongol lagi. Punya super power utuh dan dalam kondisi prima pula. Entahlah. Kali-kali penulisnya kejedot tembok dan amnesia pada cerita tempo hari. Saya juga agak kabur ngingatnya. Padahal saya nggak amnesia, cuman pelupa saja ;P
Karena menyadari potensi masalah yang bisa terlahir dari keberadaan Mistique, Magneto di masa lalu berusaha membunuh Mistique. Charles Xavier, yang ternyata mudanya berambut gondrong dan cakep bingits (James McAvoy cin!), mati-matian melindungi Mistique. Bukan karena doi sekedar ingin menyelamatkan masa depan tapi sebab Xavier mencintai Mistique. Dan dalam cintanya, Charles punya kepercayaan pada nurani Raven (nama asli Mistique). Baru tahu kalau ternyata mereka bersahabat sejak kecil.
Oh ya, ada yang pernah punya keinginan mindah stadion olahraga ke tempat lain? Ke lapangan di ujung desa, umpamanya. Biar mimpi masa kecil maen gundu di stadion paling gede se-bumi terkabul (bayangkan susahnya nyari gundu yang nyungsep di stadion segede itu!!). Kalo ada, bolehlah minta bantuan Magneto. Dia sudah pengalaman, karena di tahun 1973 pernah memindahkan stadion ke sekeliling gedung putih. Tujuannya tentu, untuk membikin seluruh dunia takut pada mutan, karena mutan adalah proses evolusi selanjutnya dari manusia.
Tapi, sehebat apapun seorang mutan, mereka selalu kalah ditandingkan kekuatan terbesar manusia: harapan. Harapan membuat manusia bangun tengah malam untuk nulis sukripsi. Harapan bikin seorang anak kecil berlari cepat ke warung terdekat buat beli garam sebelum sayur lodeh yang dimasak ibunya matang. Harapan yang membuat seorang penulis mati-matian berjuang melawan dead lock ide demi merampungkan fiksinya. Harapan yang menyeret saya ke bioskop dan menyelesaikan tempo dua setengah jam masa tayang X-men terbaru ini. Dan harapan juga yang saya (serta penulis dan segenap kru film ini) harapkan terlahir kembali dari setiap jiwa putus asa serta setengah mati butuh hiburan-pasca merampungkan tontonannya. Karena harapan adalah salah satu senjata terhebat manusia. Dia juga yang akan mempengaruhi keberlangsungan hidup dan cara hidup umat manusia di bumi. Berharap sepenuh hati, berjuang untuk mencapai harapannya, berdoa agar harapannya terkabul, lalu pasrah pada tangan ajaib Ilahi.
Habis nonton X-men Days of Future Past, saya jadi bingung: mana yang masa depan, mana yang masa lalu? Karena ternyata masa depannya berada di masa lalu dan menulis ulang masa lalu. Kayak tipex ajaib yang mampu mengubah segalanya. Bukan tidak mungkin: kalau saya naik mesin waktu, pergi ke tempo lima puluh tahun lalu, kemudian memindahkan dua butir paku dari depan rumah kakek buyut saya, masa depan saya dirombak total menjadi saya ini kelahiran Jakarta dan hobi olahraga. Lalu apa jadinya masa depan yang tempo hari saya tinggalkan? Dia murni terhapus dari sejarah seolah tidak pernah ada. Atau tetap lanjut di versi berbeda?
Kalau Bryan Singer percaya asumsi yang pertama. Kali juga, ini pesanan produser, mungkin karena nyesek-menyesal sudah bikin mati mutan-mutan hebat yang ternyata bisa jadi lahan ide untuk sequel X-men yang dapat mendulang duit lebih banyak. Hehe, jadi ingat beberapa sinetron (yang bukan serial super hero) kita. Tokoh-tokohnya bisa secara ajaib hidup lagi atau selamat dari insiden dengan cara yang luar binasa mustahil, demi kepentingan rating. Toh, saya setuju saja dengan kisah Future Past ini. Saya rela dibodohi dengan canggih begini. Biar di masa depan, saat saya sedang butuh hiburan (atau sekedar pengen dibawa ke negeri mutan), saya bisa kabur ke bioskop dengan hati riang.
Di akhir film, sebagaimana di penghujung sekuel X-men sebelumnya, ada cuplikan adegan. Isinya pameran kekuatan seorang mutan dalam membikin paramida. Jangan-jangan penulisnya nanti bilang kalau yang membangun piramida adalah para mutan. Bukankah, menurutnya, sebagaimana disebut Magneto saat berdebat dengan Xavier, JFK adalah mutan juga. Ngomong-ngomong, adakah yang tahu, kapan mutan pertama dilahirkan? Kekuatannya apa dan tinggal di mana?

Sabtu, 17 Mei 2014

Merapi and Jogja

Though Jogjakarta is known as the city of students (Kota Pelajar-many students from all over Indonesia goes here to study) which guarantee our updated knowledge about technology, we preserve our traditional values daily. Living in Jogja feels like living the NOW in details. Everything is calming and (feels like Javanesse) musical, like a heart beat.

If you have plans visiting Jogjakarta, you really should see Merapi. You can google about merapi and see further info regarding the volcanic mountain. This place is not only known for its scenary, but also as a traditional and historic symbol.

This is the pic of Mount Merapi, around two years a go. Taken from around Kinahrejo.



This placed in known as the resident of former Mount Merapi Spiritual Guardian, Mbah Maridjan. He was known for his love, loyalty, respect and faithful guards over Merapi Mountain. Mbah Maridjan even refuses leaving Merapi, though goverments have frequently asked him to move due to the Merapi's erruption. He died with the believe that his duty was to prevent Merapi from exploding (Merapi can only errupt but not expode) and therefore he will not leave his place what so ever. From wikipedia page about Mbah Marijan we could read more about him and his beliefs regarding his duty.

While visiting Kinarejo few months after the big erruption on 26th of October 2010, I found new kinds of tourist objects around Merapi. Merapi which once known for it's cool and relaxing air has now turned into a huge museum of lava trace. Every where we look was burnt trees, houses and landscapes. These are few pics of the scene back then.


There were also salesmen selling food and other items.



My friend even once took a lava tour. This is a tour, riding jeep, around areas which were flood with lava. These area can only be reached using out door specialized vehicle with special tour guides. Many of them are provided around the area. My friend got a rate around Rp 450.000 for four people per ride.

Due to works, I haven't got the chance visiting Merapi again lately, so I really can't tell much about it's nowadays condition. I don't think I can go there soon because this volcanic mountain is once again active. It starts making small erruption since few weeks a go and I don't think tourists are now allowed to come. I will update other pics once I have chances to go there.

Fyi, Jogjakarta Palace, Parang Kusumo Beach (on Southern Beach) are lined in one imaginary line, centered in Tugu Jogja (tall monument built in the middle of the city). The line and these objects are Jogja's well known symbol. Knowing our daily life and our beliefs will help you catching the heart of Jogja. The calm, musical and relaxing ones.

I will tell you about them on my later posts. Hopefully soon.